REVIEW BUKU
Judul Buku : RASHOMON
Kumpulan
Cerita Akutagawa Ryunosuke
Penulis : Akutagawa
Ryunosuke
Penerbit : PT. Gramedia
Saya percaya bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini.
Begitupun juga pertemuan saya dengan buku berjudul Rashomon ini pastilah juga
bukan sebuah kebetulan. Jika difikir-fikir, memang demikian adanya, semalam
sebelum berkunjung ke rumah Pak Budiman saya sempat membaca perihal Rashomon.
Rashomon yang saya baca malam itu bukanlah sebuah buku, melainkan sebuah judul
film karya Akira Kurosawa seorang sutradara film Jepang yang cukup terkenal dan
berpengaruh. Saya membacanya ketika sedang mengerjakan tugas filmologi untuk
membuat ulasan seputar industri film Jepang. Waktu itu saya tidak terlalu
menghiraukan film ini karena saya lebih berfokus pada industrinya. Saya hanya
membacanya sekilas dan tidak mencari informasi lebih lanjut atau menonton
filmnya.
Ketika sampai di rumah Pak Budiman dan dipersilakan untuk
membaca buku manapun yang diinginkan, sempat saya tertarik dan mengambil
beberapa judul buku. Karena masih penasaran, kemudian saya melakukan scan pada rak buku di bagian utara ruang
tamu. Setelah beberapa saat, mata saya tertuju pada satu judul buku “Rashomon”.
Dalam hati saya berkata, “bukannya ini judul film yang aku baca semalam? Wah
sepertinya menarik”. Tanpa pikir panjang saya langsung mengambil buku itu dari
rak dan membacanya.
Bagian pertama yang saya baca adalah bagian sinopsis buku
yang terletak di bagian sampul belakang. Membaca kalimat pertama saya merasa
agak ngeri karena menyinggung soal seorang nenek yang bertahan hidup dengan
cara mencabuti rambut mayat dan menjualnya. Walaupun ngeri, tapi saya malah
jadi penasaran juga sebenarnya apa isi dari buku ini. Setelah menyelesaikan sinopsis,
kemudian saya mulai untuk membuka dan membaca buku kumpulan cerpen dari
Akutagawa Ryunosuke ini.
Buku ini terdiri dari 7 buah cerita pendek yang
masing-masing memiliki tema yang berbeda-beda. Ketujuh cerita tersebut adalah
Rashomon, Di Dalam Belukar, Kappa, Bubur Ubi, Benang Laba-Laba, Si Putih dan
yang terakhir berjudul Hidung. Dari setiap cerita terdapat pesan yang ingin
disampaikan oleh si penulis kepada pembaca. Berikut merupakan interpretasi saya
terhadap cerita dari setiap judul. Perlu diketahui bahwa interperetasi saya ini
sangat bersifat subyektif, jadi mungkin bisa sangat berbeda dengan interpretasi
dari pembaca-pembaca lain.
Cerita pertama : Rashomon
Pada awalnya, saya mengira bahwa Rashomon itu adalah nama
dari semacam monster atau makhluk asing. Ternyata saya salah besar, di dalam
cerita ini dijelaskan bahwa Rashomon itu adalah nama sebuah pintu gerbang yang
sekarang terletak di perfektur Nara, Jepang. Seperti judulnya, cerita ini
terjadi di Rashomon. Dikisahkan seorang Genin yang merasa tidak punya pilihan
untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya yang berfikir unutk menjadi seorang
pencuri. Gerbang Rashomon pada saat itu dijadikan sebagai tempat pembuangan
mayat. Setelah beberapa saat merenung, Genin melihat seorang nenek tua tengah
berjongkok mencabuti rambut mayat seorang perempuan.
Melihat situasi ini Genin mulai membenci perbuatan nenek
itu yang dianggapnya sebagai kejahatan. Ia bahkan lupa akan niatnya sendiri
untuk menjadi seorang pencuri. Genin kemudian menggenggam lengan nenek itu dan
menghunus pedang ke arahnya menuntut ia untuk menjelaskan apa gerangan yang
sedang dilakukannya. Nenek itupun menjelaskan bahwa ia mencabuti rambut mayat
perempuan tersebut karena terpakasa. Jika tidak melakukannya ia akan mati
kelaparan. Lagipula menurut si nenek, mayat-mayat yang ada di situ memang
pantas untuk diperlakukan demikian. Perempuan yang ia cabuti rambutnya
merupakan seorang penjual daging ular yang mengatakan bahwa apa yang dijualnya
adalah ikan kering. Wanita itupun melakukan hal demikian karena terpaksa.
Diakhir cerita, Genin merampok nenek tersebut dengan
mengambil baju yang dikenannya secara paksa. Genin menyatakan bahwa ia juga
tidak mau disalahkan karena telah merampok nenek tersebut. Ia juga terpaksa
melakukannya, karena jika tidak dia juga akan mati kelaparan.
Membaca kisah ini, saya merasa diarahkan oleh penulis
untuk kembali mengkaji pendapat dan definisi saya mengenai nilai baik dan buruk
atau mengenai salah dan benar. Saya tidak bisa mengatakan apakah yang dilakukan
Genin tadi benar dan yang dialakukan sang nenek adalah salah. Begitupun
sebaliknya, ada beberapa hal yang menyebabkan sesuatu tidak bisa dihakimi
mentah-mentah. Pada akhirnya, semua kembali kepada perspektif kita
masing-masing. Dari mana kita memandang sesuatu hal itu salah atau benar.
Mengingat dibalik suatu perbuatan yang dilakukan oleh seiap orang entah itu
dikatakan baik atuapun buruk, pasti memiliki alasan yang tidak bisa kita nilai
hanya dari satu sisi.
Cerita ke dua : Di Dalam Belukar
Cerita ini mengisahkan terjadinya sebuah pembunuhan di
dalam belukar di lembah pegunungan. Terdapat sebanyak tujuh kesaksian yang
disampaikan di hadapan penyidik mengenai kejadian tersebut. Ketujuh saksi yang
memberikan pernyataannya yaitu seorang penebang kayu, sorang pendeta
pengembara, Homen, perempuan tua, Tajomaru, seorang perempuan dan roh orang
mati. Masing-masing dari mereka memberikan informasi yang bebeda-beda.
Setelah membaca kesaksian dari masing-masing orang
sejujurnya saya malah menjadi bingung. Kesaksian siapa yang merupakan
kebenaran. Pada akhirnya saya berfikir bahwa ternyata memang yang namanya
kebenaran itu bersifat sangat relatif. Tergantung dari sudut pandang mana kita
melihat dan menilainya.
Cerita ke tiga : Kappa
Berisi sebuah cerita yang disampaikan oleh seorang pasien
di suatu rumah sakit jiwa. Sebenarnya meskipun telah membaca seluruh ceritanya
dari awal sampai akhir, sampai saat ini saya belum memiliki gambaran yang jelas
bentuk Kappa itu seperti apa. Terdiri dari 17 bagian, merupakan cerita yang
paling panjang jika dibandingkan dengan cerita lainnya dalam buku ini. Setiap
bagian merupakan rangkaian peristiwa yang mengisahkan perjalan pasien ini di
negeri Kappa. Tema di setiap bagian juga berbeda-beda, namun uniknya bisa
membentuk alur yang berkesinambungan.
Karena saya merasa agak kesulitan dalam mencerna maksud
dari cerita Kappa ini, saya memilih untk menyimpulkan pesannya secara umum. Menurut
saya, cerita ini lebih seperti sindirian yang ditulis secara sarkasme yang ditujukan untuk melakukan
kritik sosial. Sindiran-sindirannya begitu kompleks mulai dari perihal cinta,
seni, pemerintahan, politik bahkan sampai agama. Meskipun tokoh dominan dalam
cerita adalah Kappa, dan dalam cerita memang menceritakan dunia Kappa, namun
kisah-kisahnya seperti merepresentasikan kehidupan manusia.
Cerita ke empat : Bubur Ubi
Seperti judulnya, hampir keseluruhan cerita membahas
mengenai bubur ubi. Dikisahkan ada seorang
goi yang sangat menginginkan bisa memakan bubur ubi sepuasnya. Bahkan dia
tidak memiliki keinginan yang lain selain hal tersebut. Suatu ketika seseorang
bernama Toshihito memberika tawaran kepada goi
untuk makan bubur ubi sampai puas. Kemudian tibalah saatnya ketika Toshito
benar-benar memberikan bubur ubi kepada goi dengan jumlah yang sangat banyak.
Saking banyaknya, saat itu goi sampai
tidak mampu untuk menghabisakn bubur ubi tersebut. Bahkan sebelum disajikan,
goi sudah kehilangan setengah seleranya untuk memkan bubur ubi.
Cerita ini menurut saya menggambarkan mengenai bagaimana
sifat manusia yang terkadang menginginkan sesuatu, namun ketika keinginannya
tersebut terpenuhi ia malah tidak merasakan kebahagiaan. Banyak orang yang
mungkin hidup dengan satu tujuan besar, namun ia lupa memikirkan apa yang akan
dia lakukan ketika apa yang dituju dapat dicapai. Setelah mendapatkan sesuatu
yang diinginkan, kadang manusia juga malah ingin kembali di masa ketika mereka
tidak memiliki hal tersebut. Jika melihat ke lingkungan sekitar, saya banyak
menjumpai individu yang memiliki sifat seperti ini.
Cerita ke lima : Jaring Laba-Laba
Terdiri dari tiga bagian, mengisahkan seorang bernama
Kandata yang menjadi penghuni kolam darah di dasar neraka. Kandata adalah
maling besar yang pernah membunuh orang, membakar rumah dan melakukan berbagai
tindak kejahatan. Meski demikian, suatu ketika Kandata pernah menolong jiwa
laba-laba yang ditemuinya ketika melintasi hutan lebat. Karena perbuatan
baiknya ini, Sang Buddha jika bisa ingin menyelamatkan Kandata keluar dari
neraka sebagai imbalan.
Sehelai benang laba-laba turun ke arah Kandata, ia
kemudian memanjat ke atas meniti benang tersebut. Kandata sangat berharap untuk
bisa keluar dari neraka dan ia terus memanjat ke atas. Di tengah perjalanannya,
Kandata menyadari bahwa dibawahnya juga banyak penghuni neraka yang mulai
memanjat benang tersebut. Karena takut benang tersebut putus, Kandata kemudian
berseru kepada orang-orang di bawahnya dan mengatakan bahwa benang itu
miliknya. Seketika itu, benang laba-laba tersebut putus dan membawa Kandata
kembali terjatuh ke neraka.
Demikianlah seperti apa yang tertulis di akhir cerita,
kedengkian dan keserakahan hati Kandata
membawa dirinya kembali ke neraka. Cerita ini secara lebih gamblang memberikan
pesan akan pentingnya kerendahan hati.
Cerita ke enam : Si Putih
Sebuah cerita yang mengisahkan seekor anjing bernama
Shiro yang memiliki bulu berwarna putih. Namun karena ia tidak memiliki nyali
untuk menolong temannya Kuro dari si peanngkapa anjing, warna bulunya mendadak
menjadi hitam. Hal ini menyebabkan ia diusir dari rumah karena majikannya tak
mengenalinya lagi. Setelah menjadi anjing tanpa rumah, Shiro kemudian melewati
hari-harinya dengan menolong siapapun yang membutuhkan bantuan. Selanjutnya
Shiro bahkan dikenal sebagai anjing penolong. Suatu ketika Shiro memutuskan untuk
bunuh diri, namun sebelum mati ia ingin melihat majikannya terlebih dahulu. Tanpa
diduga sang majikan mngenali Shiro karena kini bulunya sudah kembali menjadi
berwarna putih seperti sedia kala.
Cerita ini ditulis dalam lima bagian secara
berkesinambungan. Menurut saya, cerita ini memberikan pesan bahwa keberanian
akan membawa kepada kemuliaan dan pengabaian akan membawa pada penderitaan.
Selain itu, penyadaran diri akan membawa kepada kemuliaan pula.
Cerita ke tujuh : Hidung
Merupakan cerita terakhir dalam buku kumpulan cerpen
Akutagawa Ryunosuke ini. Menceritakan seorang pendeta bernama Naigu yang
memiliki hidung sepanjang 16 cm. Bentuk hidungnya yang demikian sebenarnya
membuat batinnya sangat tersisika, namun karena dirinya adalah seorang pendeta
maka ia berusaha menyembunyikan perasaan itu. Suatu ketika pendeta Naigu
berusaha untuk memendekkan ukuran hidungya dan ia berhasil. Tapi apa yang
didapatnya kemudian tidak sesuai apa yang diharapakan. Hidungnya memnag berubah
ukuran dan memendek, tapi reaksi orang-orang di sekitaranya tak sesuai harapan.
Mereka malah menertawakan perubahan hidung Pendeta Naigu. Karena hal tersebut,
pendeta Naigu bermuram durja mengenang masa jayanya.
Menurut saya, inti pesan yang ingin disampaikan dalam
cerita ini sudah dituliskan secara jelas pada sebuah paragraf :
”Dalam hati manusia
ada dua perasaan yang saling bertentangan. Tentu saja tidak seorang pun yang
tidak bersimpati terhadap nasib malang orang lain. Tapi jika ada orang yang
ingin berusaha mengatasi nasib buruknya, maka akan ada orang yang tidak suka.
Kalau sedikit dilebih-lebihkan, bahkan ada orang yang ingin agar orang yang
bernasib malang itu tetap malang, dan bahkan ingin menjerumuskannya. Tanpa
sadar berarti orang itu secara pasif sudah menaruh rasa permusuhan
kepadanya.......”
Demikianlah apa yang dapat saya pahami dan ambil dari
buku kumpulan cerita pendek karya Akutagawa Ryunosuke ini. Bukunya tidak
terlalu tebal hanya terdiri dari 167 halaman, namun isinya cukup membuat saya
kembali memikirkan berbagai hal yang selama ini mungkin tidak pernah saya
fikirkan. Terutama mengenai konsep kebenaran dan penerapan nilai moral.
Sebelumnya saya sempat berselancar di internet dan membaca review film Rashomon yang saya bahas sebelumnya. Ternyata film
tersebut memang diadaptasi dari cerita-cerita ini. Khususnya cerita Rashomon
dan Di Dalam Belukar. Sampai saat ini saya belum berkesempatan untuk menonton
filmnya, tapi nanti saya akan mencoba untuk mencari film tersebut dan
menontonnya.
Komentar
Posting Komentar